UNSUR BUDAYA BATAK
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata
Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar
Dosen pengampu : Wiji Febriyani, S.IP.
Di
susun oleh :
SEMESTER
IVC
1.
Cangkini 882010112015
2.
Desi Rantika 882010112021
3.
Lely Supriati 882010413089
4.
Siti Atun
Farhatun 882010112087
5.
Yayat Triyati 882010112111
6.
Wanta 882010112105
UNIVERSITAS WIRALODRA INDRAMAYU
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Jl. Ir. H. Juanda Km 3 (0234) 275946,
Indramayu 45213
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Unsur Budaya Batak” ini
dengan lancar.Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
yang diberikan oleh dosen pengampu matakuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar Wiji Febriyani, S.IP.
Penulis harap, dengan
membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat
menambah wawasan kita mengenai Unsur Budaya Batak yang ditinjau dari aspek Adat
atau kesenian, realigi, bahasa, ilmu pengetahuan, teknologi, sistem
kemasyarakatan dan mata pencarian, khususnya bagi penulis. Memang makalah ini
masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Indramayu, 23 Maret
2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………...... i
DAFTAR ISI
............………………………………………………………............. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.2 Rumusan Masalah……….……………………………………………....... 2
1.3 Tujuan Makalah…….……………………………………………………... 2
BAB II PEMBAHASAAN
2.1 Sejarah Suku Batak
................................................................................... 3
2.2 Realigi
......................................................................................................... 3
2.3 Sistem bahasa
............................................................................................... 7
2.4 Adat istiadat dan kesenian
........................................................................... 9
2.5Sistem IPTEK
............................................................................................... 27
2.6 Organisasi Masyarakat ................................................................................. 28
2.7 Sistem mata pencaharian
.............................................................................. 30
2.8 Ilmu pengetahuan
......................................................................................... 32
BAB III PENUTUP
3.1.
Kesimpulan…………………………………………………………........... 28
3.2.
Saran............................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Adat adalah
bagian dari pada Kebudayaan, berbicara kebudayaan dari suatu bangsa atau suku
bangsa maka adat kebiasaan suku bangsa tersebut yang akan menjadi perhatian,
atau dengan kata lain bahwa adat lah yang menonjol didalam mempelajari atau
mengetahui kebudayaan satu suku bangsa, meskipun aspek lain tidak kalah penting
nya seperti kepercayaan, keseniaan, kesusasteraan dan lain-lain.
Dalam matakuliah ISBD
kami di tunjuk untuk menjelaskan tentang suku batak, dari adat istiadat, agama,
bahasa, ilmu pengetahuan, teknologi, sistem kemasyarakatan dan mata pencarian.
Batak adalah nama
sebuah suku bangsa di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatra
Utara.Sebagian orang Batak beragama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam.
Tetapi dan ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut dengan
Parmalim ) dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut Pelebegu atau
Parbegu).
Sejarah Kerajaan Batak didirikan oleh seorang Raja dalam negeri Toba
sila-silahi (silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku
Pohan.Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian yang bernama Alang Pardoksi
(Pardosi).Masa kejayaan kerajaan Batak dipimpin oleh raja yang bernama.Sultan
Maharaja Bongsu pada tahun 1054 Hijriyah berhasil memakmurkan negerinya dengan
berbagai kebijakan politiknya.
Suku bangsa Batak dari Pulau Sumatra Utara. Daerah
asal kediaman orang Batak dikenal dengan Daratan Tinggi Karo, Kangkat Hulu,
Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah.
Daerah ini dilalui oleh rangkaian Bukit Barisan di daerah Sumatra Utara dan
terdapat sebuah danau besar dengan nama Danau Toba yang menjadi orang Batak.
Dilihat dari wilayah administrative, mereka mendiami wilayah beberapa Kabupaten
atau bagaian dari wilayah Sumatra Utara. Yaitu Kabupaten Karo, Simalungun,
Dairi, Tapanuli Utara, dan Asahan.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, kami akan
membahas unsur-unsur kebudayaan
suku Batak diantaranya :
1.
Bagaimana
sejarah Batak?
2.
Apa
yang terdapat pada unsur budaya Batak?
1.3.Tujuan
Dari rumusan masalah diatas kami mempunyai tujuan:
1.
Untuk
mengetahui sejarah suku batak.
2.
Untuk
mengetahui unsur yang terdapat pada kebudayaan Batak.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Suku Batak
Batak merupakan
satu istilah yang digunakan untuk kumpulan suku yang terdapat di daratan
tertinggi di Sumatera Utara, Suku Batak berasal dari keturunan Raja Batak. Suku batak
termasuk suku bangsa melayu tua yang berasal dari indocina atau hindia
belakang, nenek moyang orang batak berasal dari utara berpindah ke Filipina dan
berpindah lagi ke Sulewesi Selatan, berlayar hingga akhirnya menetap di
pelabuhan barus, kemudian bergeser ke pedalaman dan menetap dikaki gunung pusuk
buhit, di tepi pulau samosir, tempat asal usul peradaban suku batak.
Keturunan suku batak berasal dari
hindia muka (india), pindah ke burma, kemudian ke tanah genting Kera di Utara
Malaysia. Berlayar sampai ke tanjung balai batubara dan di pangkalan brandan
atau kuala simpang di aceh dari sana naik ke pedalaman danau toba. Suku batak
termasuk dalam rumpun proto-melayu yang berasal dari Asia selatan yakni dari
burmayang berlayar sampai malaysia, menyeberang dan menghuni daerah sekitar
danau toba.
2.2 Unsur-unsur kebudayaan
A.
Realigi
a.
Kepercayaan Asli Suku Batak
Kepercayaan yang dianut suku batak
sebelum mengenal agama protestan dan islam adalah kepercayaan bahwa alam
semesta beserta isinya diciptakan oleh Debata Mula Jadi Na Bolon dan bertempat
tinggal diatas langit, bahkan pada masyarakat daerah pedesaan belum
meninggalkan kepercayaan tercebut. mereka mempunyai system kepercayaan dan
religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan diatas langit dan
pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
·
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak
Toba mengenal tiga konsep, yaitu :
1)
Debata Mula Jadi Na Bolon : bertempat
tinggal diatas langit dan merupakan maha pencipta;
2)
Siloan Na Bolon : berkedudukan sebagai
penguasa dunia makhluk halus. Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa.
Orang Batak
mengenal tiga konsep yaitu :
a)
Tondi (adalah jiwa atau roh seseorang
yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia.
Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan
badan seseorang, maka orang tersebut
akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi
dari sombaon yang menawannya.)
b)
Jiwa
c)
Roh
3)
Sahala : jiwa atau roh kekuatan yang
dimiliki seseorang, semua orang memiliki tondi,tetapi tidak semua orang
memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki
para raja atau hula-hula.
4)
Begu : tondinya orang yang sudah mati, yang
tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu
malam. Orang batak juga percaya akan kekuatan sihir dari jimat yang disebut
tongkal.
b.
Parmalim
Istilah
Parmalim merujuk kepada penganut agama
Malim. Agama Malim yang dalam bahasa Batak disebut Ugamo Malim adalah
bentuk moderen agama asli suku Batak. Agama asli Batak tidak memiliki nama
sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas muncul sebuah gerakan
anti kolonial. Pemimpin utama mereka adalah Guru Somalaing Pardede. Agama Malim
pada hakikatnya merupakan agama asli Batak, namun terdapat pengaruh agama
Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh agama Islam.
Agama ini tidak
mengenal Surga atau sejenisnya, sepeti agama umumnya, selain Debata Mula jadi
Na Bolon (Tuhan YME) dan Arwah-arwah leluhur, belum ada ajaran yang pasti
reward atau punisnhment atas perbuatan baik atau jahat, selain mendapat berkat
atau dikutuk menjadi miskin dan tidak punya turunan. Tujuan upacara agama ini
memohon berkat Sumangot dari Debata Mula jadi Na bolon (Tuhan YME), dari
Arwah-arwah leluhur, juga dari Tokoh-tokoh adat atau kerabat-kerabat adat yang
dihormati, seperti Kaum Hula-hula (dari sesamanya). Agama ini lebih condong ke
paham Animisme. Agama ini bersifat tertutup, masih hanya untuk suku Batak,
karena upacara ritualnya memakai bahasa Batak, dan setiap orang harus punya
marga, tidak beda dengan agama-agama suku-suku animisme dibelahan bumi lainnya,
sifatnya tidak universal.
Tuhan dalam
kepercayaan Malim adalah "Debata Mula Jadi Na Bolon" (Tuhan YME)
sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang
disembah oleh "Umat Ugamo Malim" ("Parmalim"). Agama Malim
terutama dianut oleh suku Batak Toba di provinsi Sumatera Utara. Sejak dahulu
kala terdapat beberapa kelompok Parmalim namun kelompok terbesar adalah
kelompok Malim yang berpusat di Huta Tinggi, Kecamatan Lagu Boti, Kab. Toba
Samosir. Hari Raya utama Parmalim disebut Si Pahasada (yaitu '[bulan] Pertama')
serta Si Pahalima (yaitu '[bulan] Kelima) yang secara meriah dirayakan di
kompleks Parmalim di Huta Tinggi.
Pada abad 19 agama Islam
masuk daerah penyebarannya meliputi batak selatan. Masyarakat Batak tidak
pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh para pedagang Minangkabau.
Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan
menikah dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatkan
pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa perang Paderi di
awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan
pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun
penyerangan Paderi atas tanah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat
tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Kristen Protestan. Kerajaan
Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan
Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat
Melayu di pesisir Sumatera Timur.
d. Misionaris Kristen
Agama Kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebarannya meliputi batak
utara. Pada tahun 1824, dua misionaris
baptis asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari
Sibolga menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di
dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari
penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas
kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834 kegiatan ini diikuti oleh Henry
Lyman dan Samuel Manson dari dewan komisaris Amerika untuk misi luar negeri.
Pada tahun 1850, dewan Injil Belanda
menugaskan Herman Neubronner Van Der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa
dan kamus bahasa Batak-Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi
kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan
Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.
Misionaris pertama asal Jerman tiba
di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861 dan sebuah misi pengkristenan
dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian
Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen
pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P.H.
Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin
di Medan pada tahun1893. Menurut H.O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah
dibaca, agak kaku dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
Masyarakat Toba dan Karo menyerap
agama Kristen dengan cepat dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen
sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan
kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan
perlawanan lagi dengan pemerintahan colonial. Perlawanan secara gerilya yang
dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah
pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.
e. Gereja HKBP
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada
bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat
memberikan pelatihan keperawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun
1941. Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.
B.
Sistem bahasa
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang batak menggunakan beberapa
logat, ialah : logat karo (yang dipakai oleh orang Karo), logat pakpak (yang
dipakai oleh Pakpak), logat simalungun (yang dipakai oleh Simalungun), logat
toba ( Yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing).
a. Aksara Suku Batak
Orang
Batak adalah salah satu suku dari sedikit suku di Indonesia yang memiliki
aksara sendiri yaitu aksara Batak. Walaupun masing-masing sub suku Batak juga
memiliki jenis huruf yang berbeda-beda akan tetapi kemiripan masing-masing
huruf tersebut masih dapat dimengerti oleh masing-masing sub suku lainnya. Bahasa
yang digunakan oleh masyarakat Batak juga mememiliki kemiripan antara satu sub
suku dengan sub suku lainnya. Sehingga tidak mengherankan apabila satu orang
Batak dapat menguasai beberapa jenis bahasa Batak sekaligus. Dari struktur
penyusunan dan pengucapan bahasa, terdapat 2(dua) kelompok utama: bahasa Toba
serta logat Angkola dan Mandailing yang serumpun (kelompok bahasa selatan);
bahasa Karo, bersama logat Dairi dan Pakpak yang serumpun(kelompok bahasa
utara). Sedangkan bahasa yang dipakai di Simalungun merupakan perpaduan kedua
kelompok bahasa tersebut di atas. Dari keenam sub suku yang ada bahasa Batak
Toba adalah bahasa yang paling banyak digunakan. Dalam beberapa hasil
penelitian disebutkan bahwa bahasa maupun tulisan aksara Batak banyak mendapat pengaruh
dari India yaitu bahasa Sanskerta. Pengaruh tersebut diyakini masuk melalui
kebudayaan Hindu Jawa atau Hindu Sumatera. Sebagai contoh dalam bahasa Batak
Toba, purba diartikan sebagai arah mata angin utara demikian halnya dalam
bahasa sansekerta India. Entah dimana letak kebenarannya, apakah orang Batak
adalah penerus dari orang India yang bermigarasi ke Tano Toba atau sebaliknya,
saat ini belum ada kesimpulan yang pasti untuk itu.
Aksara
Batak Toba terbagi atas dua bagian besar yaitu suku kata dasar yang dibentuk
oleh penggalan suku-suku kata yang diakhiri dengan huruf vokal a, misalnya ha,
ka, ba, pa, dll. Kelompok huruf seperti ini dikenal sebagai ina ni surat atau
indung surat. Kelompok huruf lainya disebut sebagai anak ni surat yaitu imbuhan
yang membentuk penggalan suku kata gabungan yang tidak terdapat pada suku kata
dasar seperti e, i, u, o, eng, ing, ang, ung, ong,dll. Dalam penulisan aksara
Batak Toba terdapat aturan-aturan yang menggabungkan antara ina ni surat dan
anak ni surat sehingga membentuk sebuah kata dan kalimat yang memiliki arti.
Secara umum pembagian ini juga ada dalam aksara sub suku Batak lainnya.
Dalam
bidang satra, dapat ditemukan beberapa jenis hasil karya sastra yang berkembang
dalam masyarakat Batak Toba, diantaranya adalah mitos, sajak, mantera-mantera,
doa dukun (tonggo-tonggo),pantun nasihat/umpasa-umpasa, senandung/
andung-andung serta teka-taki/huling-hulingan atau hutinsa serta beragam
turi-turian/ cerita rakyat. Dari sekian banyak mitos dan turi-turian/ cerita
rakyat yang berkembang di masyarakat, kisah yang paling banyak dikenal adalah
kisah penciptaan manusia pertama yang diyakini berasal dari turunan Debata
Mulajadi Na Bolon. Dikisahkan Debata Mulajadi Na Bolon adalah dewa tertinggi
dalam mitologi Batak. Bersama dengan dewa-dewi lainnya ia menciptakan tiga
tingkat dunia yaitu Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru. Istrinya yang
bernama Manuk Patiaraja melahirkan tiga butir telur yang kemudian menetas
menjadi 3 orang anak Debata Mulajadi Na Bolon yaitu Batara Guru, Soripada, dan
Mangala Bulan. Batara Guru berkedudukan di Banua Ginjang. Soripada berkedudukan
di Banua Tonga dan Mangala Bulan berkedudukan di Banua Toru. Ketiganya dikenal
sebagai kesatuan dengan nama Debata Sitolu Sada (Tiga Dewa Dalam Satu) atau Debata
Na Tolu (Tiga Dewata). Dikisahkan pula Debata Mulajadi Na Bolon kemudian
mengirimkan putrinya Tapionda ke bumi tepatnya ke kaki Gunung Pusuk Buhit.
Tapionda kemudian menjadi ibu raja yang pertama di tanah Batak yaitu si Raja
Batak. Ini adalah salah satu mitos yang dipercayai oleh orang Batak dari sekian
banyak mitos yang diturunkan oleh nenek moyang orang Batak kepada para
penerusnya.
Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata atau istilah debata berasal dari bahasa
Sansekerta (India) yang mengalami penyesuaian dialek Batak. Karena dalam dialek
Batak tidak mengenal huruf c, y, dan w sehingga dewata berubah menjadi debata
atau nama Carles dipanggil Sarles, hancit (sakit) dipanggil menjadi hansit.
Dari
pengamatan penulis, setiap kata atau istilah Sansekerta yang memiliki huruf w,
kalau masuk ke dalam Bahasa Batak akan diganti menjadi huruf b, atau huruf yang
lain.
Istilah-istilah
Sansekerta yang diserap dalam bahasa Batak:
·
Purwa ; Prba ; Timur
·
Wajawia ; Manabia ; Barat Laut
·
Wamsa ; Bangso ; Bangsa
·
Pratiwi ; Portibi ; Pertiwi
·
Swara ; Soara ; Suara
·
Swarga ; Surgo ; Surga
·
Tiwra ; Simbora ; Perak
b.
Salam Khas Batak
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing
masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua
salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah.
Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing- masing berdasarkan puak yang
menggunakannya. Berikut ini beberapa contoh salam khas Batak:
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do
Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma
Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
C.
Adat istiadat dan kesenian
a. Adat
Adat adalah
bagian dari pada Kebudayaan, berbicara kebudayaan dari suatu bangsa atau
suku bangsa maka adat kebiasaan suku bangsa tersebut yang akan menjadi
perhatian, atau dengan katalain bahwa adat lah yang menonjol didalam
mempelajari atau mengetahui kebudayaan satu suku bangsa, meskipun aspek
lain tidak kalah penting nya seperti kepercayaan, keseniaan,kesusasteraan dan
lain-lain .
Dahulu kala keseluruhan aspek kehidupan orang Batak diatur
oleh dan didalam adat.Gunanyaialah untuk menciptakan keterarturan didalam
masyarakat.Kegiatan sehari-hari didalamhubungan sesama orang Batak selalu
diukur dan diatur berdasarkan adat.
Namun keterbukaan akan suku bangsa lain dan membawa
budayanya misalnya melalui asimilasidan akulturasi (proses percampuran dua
budaya atau lebih) , dan agama yang melarang untuk terlibat dalam adat
mempengaruhi sikap pada adat dan tradisi membuat cenderung semakingoyang.
Artinya muncul sikap tidak lagi membutuhkan adat istiadat warisan nenek
moyang,meskipun masih banyak yang mematuhi dan melaksana-kan adat bahkan
dibeberapa suku Batak masih membutuhkannya didalam pengaturan masyarakat,
dan kenyataan dapat diharapkansebagai suatu alat pemeliharaan moral.
1. Adat Inti,adalah seluruh kehidupan
yang terjadi (in illo tempore) pada permulaan penciptaandunia oleh Dewata
Mulajadi Na Bolon. Sifat adat ini konservatif (tidak berubah).
2. Adat Na taradat,adat yang secara
nyata dimiliki oleh kelompok desa, negeri, persekutuanagama, maupun masyarakat.
Ciri adat ini adalah praktis dan flexibel, setia pada adat inti atau tradisi
nenek moyang. Adat ini juga selalu akomodatif dan lugas menerima unsur dari
luar,setelah disesuaikan dengan tuntunan adat yang asalnya dari Dewata.
3. Adat Na niadathon, yaitu segala adat
yang sama sekalibaru dan menolak adat inti dan adat nataradat, adat na
diadatkan ini merupakan adat yang menolak kepercayaan hubungan adat
denganTuhan, bahkan merupakan konsep agama baru (Kristen, Islam dll)yang
dipandang sebagai adat,yang justru bertentangan dengan agama asli Batak atau
tradisi nenek moyang. (Sinaga 1983).
Berdasarkan
ketiga tingkatan adat tersebut diatas.Adat yang sekarang dilakoni orang
Batak adalah Adat tingkat kedua.Namun dibeberapa bagaian kelompok Batak
sudah mendekati tingkat ketiga.Meskipun ini terjadi sadar atau tidak sadar
dilakukan.
Oleh karena itu Adat kebiasaan atau “Adat Batak”, sesuatu
yang sangat penting didalam kehidupan bermasyarakat bagi suku Batak maka perlu
dikhayati maka petuah petuah dibawahini:
Adat do ugari, Sinihathon ni mulajadi. Siradotan
manipat ari, salaon di si ulubalang arai.Ia adat ido ugari, Ale guru
saingganon. Radotan manipat ari, Salaon di ahason.´
Artinya:
Adat ialah
aturan, ditetapkan oleh Tuhan yang dituruti sepanjang hari tampak
dalamkehidupan.
Maksudnya: bahwa Adat itu adalah hukum tidak tertulis
yang di siratkan oleh Tuhan yang MahaKuasa kepada nenek moyang terdahulu
sehingga merupakan suatu ikatan bagi yangmenganutnya.
Jikalau adat itu sudah merupakan hukum maka sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum akan berlaku kepadanya, seperti pelanggaran terhadap
adat tersebut maka akan dikenakan sanksi adatkepada sipelanggar sesuai dengan
aturan main, seperti hukum acaranya.
Namun
karena ada tBatak itu tidak tertulis karena dia merupakan adat kebiasaan yang
turun-temurun. Dan keputusannya tidak tertulis atau ter arsip namun jika
eksekusi telah terlaksana akan bergulir kesegala penjuru dan diwariskan
turun temurun hasil keputusan adat sehingga terkadangmerupakan pengikat yang
kuat atas keputusan adat tersebut.yang terasa terasa sampai kini .
Jadi adat
adalah aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia sehingga bisa
menciptakanketerarturan, ketentraman dan keharmonisan, dan adat ditrapkan
didalam kehidupan sehari-harioleh orang Batak, terutama didalam sistem
kekarabatan dengan pedoman prinsip Dalihan Natolu,disamping aturan adat yang
lain.
Adat salah satu dari budaya, dan penguraian tentang adat
sangat komplek, karena didalam semuaaspek kehidupan bermasyarakat orang Batak
selalu terikat didalam tata cara yang telah diatur sejak nenek moyang
orang Batak, oleh karena itu ukuran terhormat suatu keluarga selalu
diukur dari kemampuan keluarga tersebut mengimplementasi-kannya (adat)
didalam bermasyarakat.
Namun suatu hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa
perilaku pelaksanaan adat (budaya) Batak sudah banyak disusupi dengan
unsur-unsur dari luar termasuk pengaruh dari Agama yang banyak merobah
pola berpikir suku bangsa Batak. Meskipun demikian pada saat-saat situasi sulit umumnya
masyarakat tradisional akan kembali pada nilai-nilai budaya Tradisional, hal
ini nampak jelas pada suku Batak, bagai manapun ketat aturan yang dikeluarkan
gereja dalam pelaksanaan adat, sadar atau tidak sadar pelaksanaan adat
tradisional dilakukan juga, seperti margondang dengan Gondang sabangunan (bukan
dengan alat musik modern).
b.
Sistem Kesenian
Seni
Tari khas Suku Batak yaitu: Tari Tor-Tor (bersifat magis), Tari Serampang
dua belas (bersifat hiburan). Alat musik khas Suku Batak yaitu: Musik gondang.
Orang
Batak dikenal dengan sebagai masyarakat pecinta seni dan musik. Hampir semua
sub suku memiliki jenis kesenian yang unik dan berbeda dari sub suku lainnya.
Kesenian orang Batak Toba sendiri cukup beragam mulai dari tarian, alat musik
dan jenis-jenis nyanian. Tarian yang menjadi ciri khas orang Batak Toba adalah
tari Tor-tor dengan berbagai jenis nama tari untuk berbagai jenis kegiatan yang
berbeda-beda. Tor-tor atau tari-menari merupakan salah satu kebudayaan Batak
yang tertua.Dahulu kala seni tari-menari duhubungkan dengan kepercayaan
animisme yang dapat mendatangkan kuasa-kuasa magis.Acara tari-menari diadakan
untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan kehidupan sejahtera kepada
dewa-dewa.Acara tari-menari juga diadakan bilamana ada orang yang lahir, akil
balig dan diterima sebagai anggota suku, pada saat menikah, dan pada waktu
sudah mati.Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi bersifat animisme, tetapi
lebih dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekerabatan dalam Dalihan Na Tolu.
·
Tari Tor-Tor Khas Suku Batak
Tor-tor adalah tarian seremonial yang disajikan dengan musik gondang. Walaupun secara fisik tortor
merupakan tarian, namun makna yang lebih dari gerakan-gerakannya menunjukkan
tor-tor adalah sebuah media komunikasi, dimana melalui gerakan yang disajikan
terjadi interaksi antara partisipan upacara.Tor-tor dan musik gondang ibarat
koin yang tidak bisa dipisahkan.
Gambar : Tari Tortor
Seni tari Batak pada zaman dahulu merupakan sarana utama
pelaksanaan upacara ritual keagamaan. Juga menari dilakukan juga dalam acara gembira
seperti sehabis panen, perkawinan, yang waktu itu masih bernapaskan mistik
(kesurupan).Acara pesta adat yang membunyikan gondang sabangunan (dengan
perangkat musik yang lengkap), erat hubungannya dengan pemujaan para Dewa dan
roh-roh nenek moyang (leluhur) pada zaman dahulu.Tetapi itu dapat dilaksanakan
dengan mengikuti tata cara dan persyaratan tertentu.umpamanya sebelum acara
dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah (hasuhutan) melakukan acara khusus
yang dinamakna Tua ni Gondang, sehingga berkat dari gondang sabangunan. Dalam
pelaksanaan tarian tersebut salah seorang dari hasuhutan (yang mempunyai hajat
)akan meminta permintaan kepada penabuh gondang dengan kata-kata yang sopan dan
santun sebagai berikut:
“Amang pardoal pargonci…….
“Alu-aluhon ma jolo tu omputa Debata Mulajadi Nabolon, na Jumadihon nasa
adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni portibion.”
“Alu-aluhon ma muse tu sumangot ni omputa sijolo-jolo tubu, sumangot ni
omputa paisada, omputa paidua, sahat tu papituhon.”
“Alu-aluhon ma jolo tu sahala ni angka amanta raja na
liat nalolo.”
Setiap selesai satu permintaan selalu
diselingi dengan pukulan gondang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat.
Setelah ketiga permintaan atau seruan tersebut dilaksanakan dengan baik maka
barisan keluarga suhut yang telah siap manortor (menari) mengatur susunan
tempat berdirinya untuk memulai menari. Kembali juru bicara dari hasuhutan
memintak jenis gondang, satu persatu jenis lagu gondang, ( ada 7 jenis lagu
Gondang) yang harus dilakukan Hasuhutan untuk mendapatkan (tua ni gondang).
Para melakukan tarian dengan semangat dan sukacita. Adapun jenis permintaan
jenis lagu yang akan dibunyikan adalah seperti : permohonan kepada Dewa dan
pada ro-roh leluhur agar keluarga suhut yang mengadakan acara diberi
keselamatan kesejahteraan, kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah ruah, dan
upacara adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan
seluruh keluarga, serta para undangan.Sedangkan gondang terakhir yang
dimohonkan adalah gondang hasahatan. Didalam Menari banyak pantangan yang tidak
diperbolehkan, seperti tangan sipenari tidak boleh melewati batas setinggi bahu
keatas, bila itu dilakukan berarti sipenari sudah siap menantang siapapun dalam
bidang ilmu perdukunan, atau adu pencak silat, atau adu tenaga batin dan lain
lain. Selain menari orang Batak juga sangat senang menyanyi, baik secara
perorangan, maupun berkelompok. Lagu-lagu yang dinyanyikan bercerita tentang
pemujaan terhadap kampung halaman, keindahan negeri dan panorama yang indah permai.
Sedangkan andung atau ratapan adalah salah satu jenis nyanyian yang secara
khusus dinyanyikan pada acara dukacita atau menggambarkan suasana hati yang
sedang berduka dan sedih. Sebagai contoh,alat musik Batak Toba yang digunakan
untuk mengiringi tarian tor-tor dan nyanyian juga beranekaragam. Alat musik ini
ada yang terbuat dari bahan perunggu, kulit, kayu, dan bambu. Alat musik
berbahan perunggu seperti ogung atau gong. Ogung merupakan instrumen 4 jenis
gendang yang berlainan bunyi/nada, yaitu oloan, ihutan, doal, dan panggora.
Sedangkan alat musik dari bahan kulit, kayu dan bambu meliputi tagading, hesek,
hasapi (kecapi), saga-saga, garantung, suling (seruling), sordam dan salohat.
Alat musik tagading merupakan seperangkat instrumen yang terdiri dari 1 gondang
sebagai bas, 1 odap-odap dan 5 tagading. Orang Batak Toba juga membedakan
peralatan musik ini dalam dua golongan besar yaitu Gondang Bolon (terdiri dari
gordang(gendang besar), taganing(gendang ukuran sedang) dengan lima lempeng
kayu, odap-odap(gendang kecil) yang kadang-kadang diganti dengan lempengan
logam, gong dari tembaga ditambah empat gong perunggu, dan sarune(seruling))
dan Gondang Hasapi (terdiri dari 2 buah hasapi, sarune kecil, suling(seruling),
garantung(bumbung kecil) dengan lima lempeng kayu sebagai pengganti taganing).
·
Alat Musik Margondang Khas Suku Batak
1. Margondang Pada Masa Purba
Yang dimaksud dengan Masa purba adalah masa dimana
sebelum masuknya pengaruh agama Kristen ketanah batak, dimana pada saat itu
masih menganut aliran kepercayaan yang bersifat polytheisme.Pada masa purba
penggunaan gondang dalam konteks hiburan maupun pertunjukan belum didapati
masyarakat . Keseluruhan kegiatan di tujukan
untuk upacara adat maupun upacara religi yang bersifat sakral. Oleh karena itu
upacara margondang pada masa purba dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu :
1) Margondang adat, yaitu suatu
upacara yang menyertakan gondang, merupakan akualisasi dari aturan-aturan yang
dibiasakan dalam hubungan manusia dan manusia (hubungan horizontal), misalnya :
gondang anak tubu (upacara anak yang baru lahir), gondang manape goar (upacara
pemberian nama/ gelar boru kepada seseorang), gondang pagolihan anak
(mengawinkan anak), gondang mangompoi huta (peresmian perkampungan baru),
gondang saur matua (upacara kematian orang yang sudah beranak cucu) dan
sebagainya.
Gambar 3 : Gondang Sembilan , alat yang dipakai saat Margondang
2) Margondang religi, yaitu upacara yang
menyertakan gondang, merupakan akualisasi dari suatu kepercayaan tau keyakinan
yang dianut dalam hubungan manusia dengan tuhan-nya atau yang disembahnya
(hubungan vertikal), misalnya : gondang saem (upacara untuk meminta rejeki),
gondang mamele, (upacara pemberian sesajen kepada roh), gordang papurpur sapata
(upacara pembersihan tubuh/ buang sial) dan sebagainya.
Walaupun upacara margondang masa purba dibagi ke dalam
dua bagian, namun hubungan dengan adat dan religi dalam suatu upacara selalu
kelihatan dengan jelas. Hal tersebut dapat dilihat dari tata cara yang
dilakukan pada setiap upacara adat yang selalu menyertakan unsur religi dan
juga sebaiknya pada setiap upacara religi yang selalu menyertakan unsur adat.
Unsur religi yang terdapat dalam upacara adat dapat dilihat dari beberapa aspek
yang mendukung upacara tersebut, misalnya : penyertaan gondang, dimana dalam
setiap pelaksanaan gondang selalu diawali dengan membuat tua ni gondang ( memainkan
inti dari gondang), yaitu semacam upacara semacam meminta izin kepada mulajadi
nabolon dan juga kepada dewa-dewa yang dianggap sebagai pemilik gondang
tersebut. Sedangkan unsur adat yang terdapat dalam upacara religi dapat dilihat
dari unsur dalihan na tolu yang selalu disertakan dalam pada setiap upacara.
Menurut Manik, bahwa pada mulanya agama dan adat etnik Batak Toba mempunyai
hubungan yang erat, sehingga tiap upacara adat sedikit banyaknya bersifat
keagamaan dan tiap upacara agama sedikit banyaknya diatur oleh adat (1977: 69).
Walaupun hubungan dari kedua adat dan religi selalu
kelihatan jelas dalam pelaksanaan suatu upacara, perbedaaan dari kedua upacara
tersebut dapat dilihat dari tujuan utama suatu upacara dilaksanakan. Apabila
suatu upacara dilaksanakan untuk hubungan manusia yang disembahnya, maka
upacara tersebut di klasifikasikan kedalam upacara religi. Apabila suatu
upacara dilakukan untuk hubungan manusia dengan manusia, maka upacara tersebut
dapat di klasifikasikan ke dalam upacara adat.
2. Margondang pada Zaman Sekarang
Gambar
4 : ” Margondang pada zaman sekarang “
Margondang pada masa sekarang merupakan perkembangan dari
cara berpikir masyarakat setelah pengaruh gereja sudah sangat kuat pada
masyarakat Batak Toba.Dalam ajaran Kristiani, gereja hanya mengakui satu Tuhan
yang harus disembah yaitu Tuhan Yesus Kristus, apabila ada anggota gereja masih
melakukan penyembahan terhadap roh roh nenek moyang dan kepercayaan mereka yang
lama, maka orang tersebut aka dikeluarkan dari anggota gereja tersebut. Oleh
karena itu,muncul beberapa masalah yang bersifat problematic tentang penggunaan
gondang batak dalam kegiatan adat maupun keagamaan .
Di satu pihak orang Batak ingin mempraktikkan
dan menghayati gondang itu menurut visi dan tradisi yang sudah sangat mendarah
daging, dilain sisi ada kelompok yang menolak gondang untuk dipergunakan dalam
upacara adat maupun keagamaan, karena mereka melihat unsur-unsur animism pada
gondang tersebut , ada ketakutan mereka mempelajari sejarah batak dan
menghidupi unsur-unsur kebudayaannya. Ketakutan ini timbul karena adanya
predikat yang kurang baik sepeti kafir, kolot da tuduhan lain yang diberikan
penganut kebudayaan tersebut. Pada bagian yang lain ada juga kelompok agama
tradisional pada masyarakat Batak Toba yang menentang ajaran Kristen.
·
Konsep Margondang pada masa sekarang dapat dibagidalam tiga bagian
besar, yaitu :
a) Margondang pesta, suatu kegiatan yang
menyertakan gondang dan merupakan suatu ungkapan kegembiraan dalam konteks
hibuan atau seni pertunjukkan, misalnya : gondang pembangunan gereja, gondang
naposo, gondang mangompoi jabu (memasuki rumah) dsb.
b) Margondang adat, suatu kegiatan yang
menyertakan gondang, merupakan aktualisasi dari system kekerabatan dalihan na
tolu, misalnya : gondang mamampe marga (pemberian marga), gondang pangolin anak
(perkawinan), gondang saur matua (kematian), kepada orang diluar suku Batak
Toba, dsb.
Gambar 5 : Tari Tortor dan Margondang saat pesta
pernikahan
c) Margondang Religi, upacara ini pada saat
sekarang hanya dilakukan oleh organisasi agamaniah yang masih berdasar kepada
kepercayaan batak purba. Misalnya parmalim, parbaringin, parhudamdam Siraja
Batak. Konsep adat dan religi pada setiap pelaksanaan upacara oleh kelompok ini
masih mempunyai hubungan yang sangat erat karena titik tolak kepercayaan mereka
adalah mulajadi na bolon dan segala kegiatan yang berhubungan dengan adat serta
hukuman dalam kehidupan sehari-hari adalah berdasarkan tata aturan yang
dititahkan oleh Raja Sisingamangaraja XII yang diaggap sebagai wakil mulajadi
na bolon.
c. Hasil Kebudayaan Suku Batak
a) Pakaian Adat Suku Batak
Ulos adalah
kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol
restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi:
“Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya jika ijuk
adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang
antara sesama.
Secara
harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari
terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber
yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga
sumber kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan
kehidupan sehari-hari.
Dahulu nenek
moyang suku Batak adalah manusia-manusia gunung, demikian sebutan yang
disematkan sejarah pada mereka. Hal ini disebabkan kebiasaan mereka tinggal dan
berladang di kawasan pegunungan. Dengan mendiami dataran tinggi berarti mereka
harus siap berperang melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang. Dari sinilah
sejarah ulos bermula.
Pada awalnya
nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai tameng melawan
rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari bahwa matahari tidak
bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan
mendung sering kali bersikap tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa
dingin semakin menjadi-jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu
praktis digunakan waktu tidur karena resikonya tinggi. Al hajatu ummul
ikhtira'at, karena dipaksa oleh kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang
mereka berpikir keras mencari alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah
ulos sebagai produk budaya asli suku Batak.
Tentunya ulos
tidak langsung menjadi sakral di masa-masa awal kemunculannya. Sesuai dengan
hukum alam ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang memakan waktu
cukup lama, sebelum akhirnya menjadi salah satu simbol adat suku Batak seperti
sekarang. Berbeda dengan ulos yang disakralkan yang kita kenal, dulu ulos malah
dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos
yang mereka gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut
dan dengan motif yang sangat artistik.
Setelah mulai
dikenal, ulos makin digemari karena praktis. Tidak seperti matahari yang
terkadang menyengat dan terkadang bersembunyi, tidak juga seperti api yang bisa
menimbulkan bencana, ulos bisa dibawa kemana-mana. Lambat laun ulos menjadi
kebutuhan primer, karena bisa juga dijadikan bahan pakaian yang indah dengan
motif-motif yang menarik. Ulos lalu memiliki arti lebih penting ketika ia mulai
dipakai oleh tetua-tetua adat dan para pemimpin kampung dalam
pertemuan-pertemuan adat resmi. Ditambah lagi dengan kebiasaan para leluhur
suku Batak yang selalu memilih ulos untuk dijadikan hadiah atau pemberian
kepada orang-orang yang mereka sayangi.
Kini ulos
memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan orang
Batak. ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku
Batak.
Mangulosi,
adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak. Mangulosi secara
harfiah berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah
biasa, karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi
melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan dan
kebaikan-kebaikan lainnya.
Dalam ritual
mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa seseorang
hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada
di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh
mangulosi orang tuanya. Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai
dengan ketentuan adat. Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan
digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana,
sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.
Dalam
perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak".
Pemberian ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada
penerima ulos. Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat negara,
selalu diiringi oleh doa dan harapan semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia
selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang
yang dipimpinnya.
Beberapa
jenis ulos yang dikenal dalam adat Batak adalah sebagai berikut:
-
Ulos Ragidup
Ragi berarti corak, dan Ragidup berarti lambang
kehidupan. Dinamakan demikian karena warna, lukisan serta coraknya memberi
kesan seolah-olah ulos ini benar-benar hidup. Ulos jenis ini adalah yang
tertinggi kelasnya dan sangat sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas tiga
bagian; dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun
tersendiri dengan sangat rumit. Ulos Rangidup bisa ditemukan di setiap rumah
tangga suku batak di daerah-daerah yang masih kental adat bataknya. Karena
dalam upacara adat perkawinan, ulos ini diberikan oleh orang tua pengantin
perempuan kepada ibu pengantin lelaki.
-
Ulos Ragihotang
Hotang berarti rotan, ulos jenis ini juga termasuk
berkelas tinggi, namun cara pembuatannya tidak serumit ulos Ragidup. Dalam
upacara kematian, ulos ini dipakai untuk mengafani jenazah atau untuk
membungkus tulang belulang dalam upacara penguburan kedua kalinya.
-
Ulos Sibolang
Disebut Sibolang sebab diberikan kepada orang yang
berjasa dalam mabolang-bolangi (menghormati) orang tua pengantin perempuan
untuk mangulosi ayah pengantin laki-laki pada upacara pernikahan adat batak.
Dalam upacara ini biasanya orang tua pengantin perempuan memberikan Ulos Bela
yang berarti ulos menantu kepada pengantin laki-laki.
Mengulosi
menantu lelaki bermakna nasehat agar ia selalu berhati-hati dengan teman-teman
satu marga, dan paham siapa yang harus dihormati; memberi hormat kepada semua
kerabat pihak istri dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu,
ulos ini juga diberikan kepada wanita yang ditinggal mati suaminya sebagai
tanda penghormatan atas jasanya selama menjadi istri almarhum. Pemberian ulos
tersebut biasanya dilakukan pada waktu upacara berkabung, dan dengan demikian
juga dijadikan tanda bagi wanita tersebut bahwa ia telah menjadi seorang janda.
Ulos lain yang digunakan dalam upacara adat adalah Ulos Maratur dengan motif
garis-garis yang menggambarkan burung atau banyak bintang tersusun teratur.
Motif ini melambangkan harapan agar setelah anak pertama lahir akan menyusul
kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau bintang yang terlukis dalam ulos
tersebut.
Dari besar
kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan menjadi dua bagian:
Pertama, Ulos Na Met-met; ukuran panjang dan lebarnya
jauh lebih kecil daripada ulos jenis kedua. Tidak digunakan dalam upacara adat,
hanya untuk dipakai sehari-hari.
Kedua, Ulos Na Balga; adalah ulos kelas atas. Jenis ulos
ini pada umumnya digunakan dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau
sebagai ulos yang diserahkan atau diterima.
Biasanya
ulos dipakai dengan cara dihadanghon; dikenakan di bahu seperti selendang
kebaya, atau diabithon; dikenakan seperti kain sarung, atau juga dengan cara
dililithon; dililitkan dikepala atau di pinggang.
Kain ini selalu ditampilkan dalam upacara
perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan,
menyambut tamu yang dihormati dan upacara Tor-tor. Kain adat sesuai dengan
sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang.
b) Rumah Adat Suku Batak
Orang
Batak memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa yang tertutup dan terdiri
dari kelompok-kelompok kecil. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga ,
clan atau kelompok yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Tipikal desa
tertutup ini disebut huta (secara khusus bagi orang Batak Toba).
Sebagai contoh desa tempat tinggal orang Batak
Toba pada jaman dahulu dikelilingi oleh tembok batu atau tanah (parik) yang
ditanami oleh pohon bambu yang sangat rapat sehingga hampir mustahil ditembus
manusia. Saat ini masih ada beberapa sisa-sisanya yang bisa ditemukan di
beberapa desa. Jalan masuk atau access road ke huta tersebut hanya ada satu
atau maksimal dua gerbang yang disebut bahal, yaitu bahal jolo (gerbang depan)
dan bahal pudi (gerbang belakang). Dekat dengan bahal biasanya terdapat sebuah
pohon beringin (baringin) atau hariara. Merupakan pohon kehidupan yang dipercaya
sebagai perantara antara dunia tengah dan dunia atas. Kedua pohon ini selalu
terlibat dalam ritual mistis dan acara-acara adat orang Batak Toba.
Bagi orang Batak Toba terdapat dua jenis rumah
adat yang ada di dalam suatu huta, yaitu ruma dan sopo yang letaknya biasa
saling berhadapan. Diantara kedua deret ruma dan sopo tersebut terdapat
halaman(alaman) yang luas dan digunakan sebagai pusat kegiatan orangtua maupun
anak-anak. Kedua bangunan ini, meskipun secara sekilas kelihatan sama,
sebenarnya sangat berbeda dari segi konstruksi dan fungsi. Dari segi
konstruksi, ciri-ciri yang bisa dilihat adalah bentuk tangga, besar dan jumlah
tiang, serta bentuk pintu. Konstruksi interior bangunan juga berbeda. Dari segi
fungsi, ruma adalah tempat tinggal orang Batak, sedangkan sopo berfungsi
sebagai lumbung padi, sebagai tempat pertemuan, tempat bertenun dan menganyam
tikar, dan tempat untuk muda-mudi bertemu. Sopo orang Batak Toba pada awalnya
tidak berdinding, tetapi oleh karena biaya mendirikan ruma sangat mahal dan
susah, dikemudian hari sopo ini dialihkan fungsinya menjadi rumah tinggal
dengan menambahkan dinding, pintu dan jendela.
Demikian juga rumah adat orang Batak yang
lainnya memiliki tipikal bentuk rumah dan fungsi yang hampir sama. Namun
masing-masing rumah adat tetap memiliki kekhasan masing-masing.
Rumah adat suku Batak Toba disebut juga ‘rumah
bolon’. Rumah ini berbentuk panggung dengan bahan utama bangunan berupa kayu.
Hal yang paling menarik perhatian adalah bentuk atapnya yang melengkung dan
runcing di tiap ujungnya.
Di balik bentuknya yang sangat unik, ternyata
rumah adat suku Batak ini memiliki makna dan arti tersendiri.Filosofi rumah
adat suku batak memang sangat menarik untuk dipelajari, mulai dari proses
pembangunan rumah sampai segala dekorasi, ternyata semuanya memiliki makna yang
cukup dalam.
c) Pembangunan Rumah Bolon
Proses pembangunan rumah adat suku Batak
selalu dilaksanakan secara gotong royong. Bahan yang digunakan adalah bahan
yang dengan kualitas baik, umumnya seorang pande (tukang) akan memilih
kayu-kayu dengan cara memukul kayu tersebut dengan suatu alat untuk mencari
bunyi kayu yang nyaring.
Pondasi rumah adalah hal yang terpenting,
dibuat dengan formasi berbentuk segi empat, dipadu tiang dan dinding yang kuat.
Makna dari pondasi ini sendiri adalah saling bekerja sama demi memikul beban
yang berat.
Untuk bagian atas rumah, ditopang oleh sebuah
tiang yang biasa disebut tiang “ninggor” dibantu oleh kayu penopang yang lain.
Tiang “ninggor” ini lurus dan tinggi, orang suku Batak memaknainya sebagai
simbol kejujuran. Untuk menjunjung tinggi kejujuran, perlu didukung oleh rasa
keadilan (disimbolkan oleh kayu penopang pada “ninggor”).
Di bagian depan atap terdapat “arop-arop”
bermakna harapan untuk bisa hidup layak. Lalu ada “songsong boltok” untuk
menahan atap, yang punya arti bila ada pelayanan tuan rumah yang kurang baik
sebaiknya dipendam dalam hati saja.
d) Interior Rumah Adat Suku Batak
Orang suku Batak selalu membersihkan ruangan
rumah dengan cara menyapu semua kotoran dan mengeluarkannya lewat lubang
“talaga” yang ada di dekat tungku masak. Hal ini juga bermakna untuk membuang
segala keburukan di dalam rumah, juga melupakan kelakuan-kelakuan yang tidak
baik.
Di dalam rumah terdapat semacam rumah panggung
kecil yang mirip balkon pada rumah biasa. Tempat ini untuk menyimpan padi,
bermakna pula sebagai pengharapan untuk kelancaran rezeki.
Di setiap rumah di bagian pintu masuk, selalu
ada tangga. Bagi orang lain, bila ada tangga rumah rusak, mungkin akan
mengeluh. Tapi bagi orang Batak, bila tangga rumah ini cepat rusak atau aus,
itu malah membanggakan. Karena itu artinya sering dipakai orang atau dikunjungi
orang karena tuan rumah tersebut adalah orang yang baik dan ramah.
-
Gorga
Gorga adalah pahatan/ukiran kayu yang ada pada rumah adat
suku Batak. Hiasan ini sendiri memiliki nama-nama tersendiri berdasarkan bentuk
ukirannya :
Ø
Gorga simataniari (matahari) : menggambarkan matahari
yang merupakan sumber kehidupan manusia.
Ø
Gorga desa naualu : menggambarkan 8 penjuru mata angin
yang sangat berkaitan erat dengan aktivitas ritual suku Batak
Ø
Gorga singa-singa : menggambarkan tuan rumah sebagai
orang yang kuat, kokoh, pemberani dan berwibawa.
Itu beberapa contoh nama gorga, masih cukup
banyak nama gorga lainnya yang memiliki makna tertentu. Gorga sendiri sering
dilukis dengan 3 warna :
Ø
Merah : melambangkan kecerdasan dan wawasan yang luas
sehingga lahir kebijaksanaan.
Ø
Putih : melambangkan kejujuran yang tulus sehingga lahir
kesucian.
Ø
Hitam : melambangkan kewibawaan yang melahirkan
kepemimpinan.
Selain terdapat Gorga rumah adat Suku Batak
juga ada yang dipasangi tanduk kerbau di pucuk atapnya. Hal ini melambangkan rumah sebagai “kerbau
berdiri tegak”.
Suku Batak menganggap rumah adat mereka
sebagai kerbau yang sedang berdiri dan dinamakan Rumah Balai Batak Toba. Bentuk
rumah adat suku Batak berupa rumah panggung.
Selain sangat menghargai binatang kerbau,
warga masyarakat Sumatera Utara sangat mencintai gotong royong dan kebersamaan.
Misalnya, pada saat membangun rumah adat suku Batak, mereka melakukannya dengan
bersama-sama.
Bagian-bagian Rumah Adat Suku Batak
o Rumah adat suku Batak terdiri dari tiga bagian
yang disebut tritunggal benua, yaitu
-
Atap rumah atau benua atas yang dipercaya sebagai tempat
dewa.
-
Lantai dan dinding atau benua tengah yang ditempati
manusia.
-
Kolong rumah atau benua bawah yang dipercaya sebagai
sebagai tempat kematian.
Pada zaman dulu, rumah bagian tengah itu tidak
mempunyai kamar. Untuk masuk ke dalam rumah harus menaiki tangga dari kolong
rumah. Anak tangganya berjumlah lima sampai tujuh buah.
o Bagian rumah adat Batak berupa tiang biasanya
dekat dengan pintu. Tiang ini memepunyai bentuk yang bulat panjang, yang
dimaksudkan untuk menyangga bagian atas atau lantai dua.
o Balok digunakan untuk menghubungkan semua
tiang yang disebut juga dengan rassang. Balok bentuknya lebih tebal daripada
papan Balok ini bisa menyatukan tiang-tiang depan, belakang, samping kanan dan
kiri rumah, dan dipegang oleh solong-solong (pengganti paku).
o Terdapat pintu di kolong rumah untuk jalan
masuk kerbau supaya bisa masuk ke dalam kolong.
o Rumah adat suku Batak mempunyai atap rumah
yang terbuat dari ijuk. Ijuk ini terdiri atas 3 lapisan. Tuham-tuham merupakan
lapisan pertama, sedangkan lapisan kedua disebut lalubak dan kemudian dilanjutkan
dengan lapisan ketiga.
o Tangga rumah adat suku Batak ada dua macam,
yaitu:
-
Pertama adalah tangga jantan (balatuk tunggal). Tangan
jantan terbuat dari beberapa potongan pohon. Jenis pohon yang bisa dijadikan
tangga tidak sembarang. Pohon ini biasanya disebut sibagure, merupakan jenis
pohon yang mempunyai batang kuat.
-
Kedua disebut tangga betina (balatuk boru-boru). Jenis
tangga ini merupakan paduan beberapa potong kayu yang keras dan biasanya
terdiri atas anak tangga dengan hitungan yang ganjil.
e) Ciri Khas Rumah Adat Suku Batak
Ada beberapa ciri khas yang dapat dijumpai pada rumah
adat suku Batak. Diantaranya adalah:
-
Bentuk bangunan merupakan perpaduan dari tiga macam hasil
seni, yaitu seni pahat, seni ukir, serta hasil seni kerajinan.
-
Bentuk rumah adat dari suku Batak pada umumnya melambangkan
“Kerbau berdiri tegak
-
Menghias bagian atap dengan tanduk kerbau.
-
Bangunan dibuat berdasarkan musyawarah dan saran-saran
dari para orang tua.
Macam - MacamBentuk Rumah Adat Suku Batak
-
Batak Toba
Rumah Batak
Toba memberikan kesan kokoh karena konstruksi tiang-tiangnya terbuat dari kayu
gelondongan. Dulu ketika sering terjadi pertikaian antarsuku, rumah-rumah
selalu dikelompokkan sebagai benteng di atas bukit. Lingkungannya dikelilingi
pohon sebagai pagar yang cukup rapat.
Gambar : rumah adat batak Toba
-
Batak Karo
Rumah Batak Karo merupakan tipe rumah
pegunugan. Pintu depannya dihadapkan ke arah hulu dan pintu belakangnya ke arah
muara. Bentuk atap rumah kepala marga berbeda dengan bentuk rumah-rumah lainnya.
Umumnya, denah rumah Batak Karo direncanakan untuk keluarga jamak yang dihuni
rata-rata delapan keluarga batih.
Gambar : rumah adat batak Karo(siwaluh jabu)
-
Batak Pakpak
Gambar : rumah adat batak Pakpak
-
Batak Simalungun
Bentuk atap rumah Batak Simalungun
kadang-kadang tidak simetris.Makhota atapnya menghadap ke empat arah mata angin
dan ujung atapnya dihiasi dengan hiasan yang berbentuk kepala kerbau.
-
Batak Angkola
Gambar : rumah adat batak Angkola
-
Batak Mandaling
Gambar : rumah adat batak Mandailing (bagas
godang)
d) Senjata Tradisional
Tunggal Panaluan adalah senjata tradisional bagi suku bangsa Batak Toba.
Senjata ini sebenarnya adalah wujud tongkat berukir dan pangkalnya berwujud
kepala manusia lengkap dengan rambutnya yang terbuat dari bulu kuda.
e) Upacara
Upacara dalam masyarakat Sumatra Utara,
khususnya bagi masyarakat Batak adalah merupakan upacara religius dan sakral.
Contoh upacara adat Suku Batak:
·
Upacara Masa Kehamilan
·
Upacara Kelahiran
·
Upacara Martutuaek
·
Upacara Mangebang
·
Upacara Khitanan
·
Upacara Kematian
·
Upacara Mangokal Holi
D.
Sistem IPTEK
Sistem
teknologi dalam orang Batak Toba cukup unik dengan adanya rumah batak yang
menjadi arsitektur kebanggaan mereka. Ruma Batak ini dibangun dari bahan-bahan
alami seperti ijuk, kayu, dan batu. Terdapat pengaturan hierarki ruang dalam
ruma batak ini menurut kepentingan ruang dan penamaannya berdasarkan jenis
ruangan tersebut.
Selain
itu juga terdapat hirarki pembentukan sebuah kampung atau huta yang dimulai
dari kelompok terkecil yaitu klan keluarga, huta, kemudian bius sebagai
kelompok yang terbesar. Orang Batak
memiliki kegemaran dan keahlian mengukir sejak lama.
Hal
ini dapat dilihat dari beberapa contoh bentuk peninggalan perhiasan yang
ditemukan oleh para ahli. Material yang diukir adalah kayu dan juga logam.
Perhiasan tersebut biasanya digunakan oleh para tetua atau keluarga pemimpin.
Peninggalan
perhiasan seperti ini juga dapat menunjukkan tingginya kemampuan teknologi yang
telah berkembang pada masa itu. Selain perhiasan, masyarakat orang Batak juga
menggunakan ukiran dari kayu yang disebut sebagai Gorga. Masing-masing gorga
memiliki nama dan makna tersendiri serta bentuk yang khas. Penggunaan gorga ini
mengikuti aturan-aturan tertentu yang telah ada sejak lama. Aturan tersebut
menyangkut ketepatan pemaknaan dan penggunaan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai. Hingga sekarang orang Batak juga masih tetap menekuni kegemaran
mengukir seperti ini namun jumlah peminat dan yang memiliki keahlian untuk
mengukir sudah sangat terbatas jumlahnya.
E. Organisasi Masyarakat
a. Falsafah Dan Sistem Kemasyarakatan
Ada falsafah
dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi : jonok dongan partubu
jonokan do dongan parhundul, merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa
menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun
dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada
dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan adat.
Masyarakat
Batak memiliki falsafah, azas sekaligus struktur dan system dalam
kemasyarakatannya yakni yang dalam bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu.
Berikut penyebutan Dalihan na Tolu dalam enam puak Batak.
-
Dalihan Na Tolu (Toba) : somba marhula-hula, manat
mardongan tubu dan elek marboru.
-
Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) : hormat Marmora,
manat markahanggi dan elek maranak boru.
-
Tolu Sahundulan (Simalungun) : martondong ningon hormat
sombah, marsanina ningon pakkei manat dan marboru ningon elek pakkei.
-
Rakut Sitelu (Karo) : nembah man kalimbubu, mehamat man
sembuyak dan nami-nami man anak beru.
-
Daliken Sitelu (Pakpak) : sembah merkula-kula, manat
merdengan tubuh dan elek marberru.
-
Hula-hula atau mora : adalah pihak keluarga dari istri.
Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan
adat-istiadat Batak (semua sub suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak
dipesankan harus hormat kepada Hula-hula (Somba Marhula-hula).
-
Dongan tubu atau hahanggi : disebut juga Dongan Sabutuha
adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari satu perut yang
sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang,
walaupun karena terlalu dekatnya kadang-kadang saling bergesekan. Namun,
pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti
air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetap bersatu. Namun kemudian kepada
semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara
semarga. Diistilahkan Manat Mardongan Tubu.
-
Boru atau anak boru : adalah pihak keluarga yang
mengambil istri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling
rendah sebagai parhobas atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun
(terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan
bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus
diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan Elek Marboru.
Namun
bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan
Dalihan Na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua
masyarakat Batak pasti pernah menjadi hula-hula, juga sebagai dongan tubu juga
sebagai boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga
dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berprilaku raja. Raja dalam
tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang
berprilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka
dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut raja ni hula-hula, raja ni dongan
tubu dohot raja ni boru.
b. Sistem politik
Secara umum, kepemimpinan pada masyarakat
Batak terbagi dalam tiga bidang, yaitu kepemimpinan adat, pemerintah, dan
agama. Kepemimpinan dalam bidang adat meliputi persoalan perkawinan,
perceraian, kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran anak, dan
sebagainya. Kepemimpinan di bidang adat tidak berada dalam tangan seorang
tokoh, tetapi merupakan suatu musyawarah dari sangkep sitelu.
Kepemimpinan di bidang pemerintahan dipegang oleh salah satu dari
turunan tertua merga taneh. Kepala huta disebut penghulu, kepala urungdisebut
raja urung dan sibayak untuk bagian kerajaan. Kedudukan tersebut merupakan
jabatan turun-temurun dan yang berhak adalah anak laki-laki tertua (situa) atau
si bungsu (sinuda). Anak-anak yang lain (sitengah) tidak mempunyai hak menjadi
pemimpin. Selain menjalankan pemerintaha, mereka juga menjalankan tugas
peradilan, yaitu penghulu mengetuai sidang di balehuta dan raja urung.
Pengadilan teretinggi adalah bale raja berompat yang merupakan sidang kelima
sibayak yang ada di Karo.
Masyarakat Karo tidak mengenal pimpinan keagamaan asli karena konsepsi
tentang kekuatan gaib dan kepercayaan lain tidak seragam. Namun, pada suku
bangsa Batak yang menganut agama islam,
tokoh dalam agam islam (para mualim) sangat besar peranan dan pengaruhnya
dalam kehidupan masyarakat. Jabatan ini tidak turun-temurun, seperti dukun guru
sibaso yang menjadi dukun karena pengalaman tertentu. Demikian pula pemilihan
pendeta dan ulama, mereka dipilih karena pengetahuan agama, pengabdian, dan
keteladanannya.
F. Sistem mata pencaharian
Sebagian
besar masyarakat Batak Toba saat ini bermatapencaharian sebagai petani,
peladang, nelayan, pegawai, wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam
berwiraswasta bidang usaha yang banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha
kerajinan tangan seperti usaha penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam.
Saat ini sudah cukup banyak juga yang memulai merambah ke bidang usaha jasa.
Masyarakat tradisional Batak Toba bercocok tanam padi di sawah dan juga
mengolah ladang secara berpindah-pindah. Pengelolaan tanaman padi di sawah
banyak terdapat di daerah selatan Danau Toba.
Hal ini disebabkan oleh daerah tersebut adalah
dataran yang landai dan terbuka sehingga memungkinkan untuk bercocok tanam padi
di sawah. Sedangkan ladang banyak terdapat di daerah utara (Karo, Simalungun,
Pakpak, dan Dairi). Kawasan ini berhutan lebat dan tertutup serta berupa
dataran tinggi yang sejik sehingga mengakibatkan lahan ini lebih memungkinkan
untuk pengolahan ladang. Jika anda mendengar daerah Karo sebagai peghasil
sayuran dan buah yang potensial, ini adalah salah satu dampak positif yang
dihasilkan oleh keberadaan bentuk lahan tersebut.
Sebelum
teknologi pengolahan pangan mencapai daerah tano Batak, hasil pengolahan
tanaman padi di sawah hanya dapat menghasilkan panen satu kali dalam satu tahun.
Hal ini disebabkan oleh pengolahan tanah yang tidak begitu baik, irigasi yang
terbatas dan juga tanpa penanganan tanaman yang terampil. Demikian halnya
dengan hasil pengolahan tanaman di ladang, hanya dapat menghasilkan panen satu
hingga dua kali saja lalu kemudaian lahan tidak dapat digunakan lagi. Kemudian
ladang tersebut akan ditinggalkan dan berpindah ke ladang yang baru. Dahulu
kala,pembukaan ladang yang baru dimulai dengan pemilihan lahan melalui ritual
bersama seorang datu (dukun) yang disebut parma-mang. Lahan yang biasanya
dijadikan ladang adalah lahan yang tidak ditempati atau kawasan hutan alami
yang belum dijamah oleh manusia. Kemudian lahan tersebut dibersihkan dengan
cara dibakar. Upacara selanjutnya adalah memberikan sesaji kepada penunggu
lahan agar tidak mengganggu pengolah ladang dan juga sekaligus sebagai upacara
pemilihan hari baik untuk mulai menanam. Selama musim pembukaan lahan ini,
masyarakat kampung dilarang untuk keluar-masuk kampung. Hal ini dilakukan untuk
menghindari mala petaka dan bahaya yang mungkin terjadi karena penunggu lahan
yang merasa terusik. Sekarang keberadaan
datu ini sudah tidak menjadi dominan lagi, akan tetapi kebiasaan membuka lahan
baru ini masih tetap ada. Tanaman yang
sering ditanam di ladang ini adalah tebu, tanaman obat, ubi, sayu-sayuran dan
mentimun.
Demikian
juga pohon aren yang sengaja ditanam di tengah ladang untuk menghasilkan tuak,
sejenis minuman beralkohol, yang menjadi kesukaan masyarakat Batak. Ada pula
beberapa komoditi unggulan yang menjadi kelebihan suatu daerah. Seperti hasil
panen utama dari daerah Simalungun dan Mandailing adalah jagung dan ubi kayu,
serta beragam sayuran. Dari daerah Pakpak yang menjadi komoditi unggulannya
adalah kemenyan dan kapur barus. Bayangkan betapa kayanya tano Batak ini.
Saat
ini masyarakat Batak sudah banyak yang mengolah padi hibrida di sawah mereka,
tentunya orang Batak tidak mau ketinggalan dari yang lainnya. Satu kemajuan ini
bagi orang Batak. Beralih kepada masa pengaruh perkembangan ekonomi terhadap
pertanian di tanah Batak. Pengaruh perkembangan perekonomian tersebut mulai
terlihat ketika penjajah memasuki daerah Tano Toba. Produksi tanaman padi dan
hasil ladang meningkat pesat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan
pangan untuk para pekerja kuli yang datang memasuki daerah Tano Toba. Pekerja
kuli ini didatangkan dari semenanjung Malasya (mayoritas china) dan juga daerah
Jawa, karena masyarakat lokal tidak bersedia menjadi pekerja untuk penjajah.
Pada tahun-tahun pertama masa pendudukan penjajahan, pejabat kolonial telah
membangun sistem transportasi yang menggunakan tenaga para pekerja kuli
tersebut.
Untuk
mendukung peningkatan produktivitas tanaman padi di sawah, pejabat kolonial
menyediakan lahan yang akan diolah untuk menanam padi dan juga memperbaiki
saluran irigasi. Beberapa tahun kemudian dilaksanakan percobaan penanaman
tanaman yang berasal dari Eropa seperti kentang dan kol di daerah dataran
tinggi Karo. Masyarakat menyambut baik usaha ini. Hasil produk pertanian yang
ada dapat diekspor hingga ke luar negeri(Penang dan Singapura). Sejumlah besar
petani kecil di daerah bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Tapanuli
kemudian juga turut mencoba mengelola jenis tanaman yang sama. Selain tanaman
sayuran, diadakan juga percobaan penanaman tanaman perkebunan yang menjadi
cikal bakal pengembangan kawasan perkebunan di Tano Toba. Pada umumnya
masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang
dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak
(tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit
(sabi-sabi) atau ani-ani.
Lahan
didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap keluarga mendapat tanah
tadi , tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapaun tanah yang
dimiliki perseorangan. Peternakan juga salah satu mata pencaharian suku Batak
antara lain peternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek.
Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor
kerajinan yang berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu,
tembikar, yang ada kaitannya dengan pariwisata.
G. Ilmu pengetahuan
Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong
kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron,
sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan. Sekelompok orang
tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing
anggota secara bergiliran. Raron itu merupakan satu pranata yang keanggotaannya
sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Daerah Sumatra Utara
memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat istiadat, seni
tradisional, dan bahasa daerah. Masyarakatnya terdiri atas beberapa suku,
seperti Melayu, Nias, Batak Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, Tapanuli Tengah,
Tapanuli Selatan (meliputi Sipirok, Angkola, Padang Bolak, dan Mandailing);
serta penduduk pendatang seperti Minang, Jawa dan Aceh yang membawa budaya
serta adat-istiadatnya sendiri-sendiri. Daerah ini memiliki potensi yang cukup
baik dalam sektor pariwisata, baik wisata alam, budaya, maupun sejarah
Semua etnis memiliki nilai
budaya masing-masing, mulai dari adat istiadat, tari daerah, jenis makanan,
budaya dan pakaian adat juga memiliki bahasa daerah masing-masing. Keragaman
budaya ini sangat mendukung dalam pasar pariwisata di Sumater Utara. Walaupun
begitu banyak etnis budaya di Sumatera Utara tidak membuat perbedaan antar
etnis dalam bermasyarakat karena tiap etnis dapat berbaur satu sama lain dengan
memupuk kebersamaan yang baik. kalau di lihat dari berbagai daerah bahwa hanya
Sumatera Utara yang memiliki penduduk dengan berbagai etnis yang berbeda dan
ini tentunya sangat memiliki nilai positif terhadap daerah sumatera utara.
3.2. SARAN
Kebudayaan
yang dimiliki suku Batak ini menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia yang perlu tetap dijaga kelestariannya.Dengan membuat makalah
suku Batak ini diharapkan dapat lebih mengetahui lebih jauh mengenai kebudayaan
suku Batak tersebut dan dapat menambah wawasan serta pengetahuan yang pada
kelanjutannya dapat bermanfaat dalam dunia kependidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan,
RajaMalem . 2005. Budaya Batak Dalam Perubahan Multidimensi,
Bandung : ITB Press. (Sebuah Makalah).
Ningrat,
Kountjara. 2004. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta :Djambatan.
Salomo,
Mangaradja. 1938. Memilih dan Mengangkat Radja di Tanah Batak menurut Adat
Asli.. Sibolga: Rapatfonds Tapanuli.
Nn. 2012.
kebudayaan suku batak (online). file:///H:/KEBUDAYAAN%20SUKU%20BATAK%20DAN%20HALAMANNYA/HALAMAN%20BATAK/pendidikan%20%20kebudayaan%20suku%20batak.html(diakses
tgl 14 April 2014).
LAMPIRAN
Rumah adat toba Gorda
sembilan
Margondang Zaman Sekarang tari
tor-tor
rumah adat batak Mandailing (bagas godang) rumah
adat batak Angkola
rumah adat batak Pakpak rumah
adat batak Karo(siwaluh jabu)
rumah adat batak TobaTari
Tortor dan Margondang saat pesta pernikahan
Silahkan di kunjungi ya teman teman 100% Memuaskan
BalasHapus> Hoki anda ada di sini <
1 USER ID UNTUK SEMUA GAME
Kami memberi bukti bukan Janji
Daftar sekarang juga di www.dewalotto.club
MIN DEPO & WD HANYA Rp.20.000,-
UNTUK INFORMASI SELANJUTNYA BISA HUB KAMI DI :
WHATSAPP : ( +855 69312579 ) 24 JAM ONLINE
MELAYANI TRANSAKSI VIA BANK :
BCA - MANDIRI - BRI - BNI - DANAMON-NIAGA
Raihlah Mimpi Anda Setiap Hari & Jadilah Pemenang !!!